Keindahan Alam Bandung memang tak akan habis dibicarakan. Di mana pun, kapan pun, siapa pun yang berkunjung ke wilayah Bandung pasti akan terpesona dengan potensi alamnya yang memikat. Potensi alam ini tidak hanya mengundang penikmat alam, tetapi dianggap sebagai potensi yang menggiurkan untuk sekelompok orang yang memiliki kepentingan.
Kepentingan yang dimaksud, tentu saja berkaitan dengan eksploitasi untuk mencari keuntungan, apa pun bentuknya. Satu hal yang nyata adalah pembangunan kawasan wisata beserta fasilitas-fasilitas pendukungnya.
Tak perlu jauh-jauh untuk mengamati perkembangan wisata ini. Semisal wilayah Punclut yang sudah menjadi area wisata kuliner sejak dulu. Pada awal 2000 hingga dasawarsa pertama di era milenium ke dua ini, wilayah ini bisa terbilang masih jauh dari pembangunan. Namun, hanya dalam beberapa tahun saja, setelah dibukanya akses dan jalur yang nyaman untuk menghubungkan wilayah ini dengan wilayah Bandung dan Lembang, wilayah ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Jejeran warung yang dulu berupa rumah panggung, kini telah menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Belum lagi bangunan dan pemukiman lain yang berdiri di sekitarnya. Padahal, wilayah ini termasuk dalam wilayah resapan air, wilayah yang sangat penting bagi ketersediaan dan penyangga air di kota Bandung.
Kisah berbeda akan ditemui di ujung bagian Barat, tepatnya wilayah karst yang secara keilmuan disebut sebagai patahan Raja Mandala. Di wilayah ini, tebing-tebing karst yang indah terlihat menjulang. Namun jika memasuki area ini, kita akan terperanjat dengan eksploitasi besar-besaran. Lebih dari sebagian wilayah ini telah mengalami kerusakan akibat penambangan kapur. Bahkan, sehari-harinya kita akan menemui puluhan truk lama yang mengangkut bongkahan batu besar.Inilah yang kemudian menjadi fakta miring menyangkut keindahan alam Bandung.
Jika hal seperti ini terus berlangsung tanpa adanya pembatasan dan kearifan, sisa-sisa kelestarian alam tentunya akan lenyap hanya dalam hitungan tahun. Padahal, jika dilihat dari sejarah dan ilmu kebumian, wilayah ini termasuk dalam perpustakaan alam terpenting yang berkaitan dengan keberadaan Bandung.
Lenyapnya perpustakaan alam, tentu saja sangat bisa dimaknai sebagai hilangnya sumber keilmuan. Padahal, penemuan beragam fakta baru tentang ekosistem purba di wilayah ini, masih dalam tahap penelitian dan masih membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengembangkannya sebagai literature keilmuan.
Fakta miring di atas, hanya sebagian kecil yang bisa digunakan untuk memetakan sebesar apa ironi yang ada di balik keindahan alam Bandung. Sebagai generasi zaman, tentunya hanya ada dua pilihan untuk menanggapi masalah tersebut. Pertama, tutup mata atau hanya menganggapnya sebagai konsekuensi logis dari pembangunan. Kedua, berusaha dengan beragam cara untuk menjaga kelestarian alam Bandung.