Bis sekolah di Bandung yang baru diluncurkan awal Oktober lalu, merupakan aksi nyata dari Pemerintah Kota Bandung untuk mewujudkan Bandung Juara. Seperti namanya, bis (bus) ini memang dikhususkan sebagai sarana transportasi pelajar di kota Bandung.
Namun demikian, peluncuran bis ini mengundang kontroversi tersendiri, terutama bagi penyedia layanan transportasi umum, angkutan kota (angkot). Dari sudut pandang mereka, operasional bis sekolah ini selalu dianggap mengganggu trayek. Singkatnya, muncul sebuah kekhawatiran yang berkaitan dengan berkurangnya penghasilan. Hal itu wajar, mengingat penghasilan sopir angkot besar kecilnya dipengaruhi oleh pelajar pengguna angkot.
Kontroversi semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru. Beberapa tahun ke belakang, kejadian serupa pernah dialami saat peluncuran bus metro Bandung yang dianggap memangkas trayek angkutan umum yang telah ada.
Terlepas dari masalah tersebut, bis sekolah di Bandung tentunya merupakan terobosan positif yang seharusnya didukung secara penuh. Bagaimana pun, keberadaan bus ini bisa diartikan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan pendidikan murah. Kenyataannya, biaya sekolah memang lebih banyak dibebankan pada tingginya ongkos menuju sekolah.
Perhitungan sederhana mungkin bisa menjelaskan pernyataan tersebut. Anggap saja tarif angkot termurah sebesar Rp. 3000 per pelajar pengguna angkot. Tarif tersebut tentunya untuk sekali jalan. Artinya, seorang pelajar pengguna angkot akan mengeluarkan uang sebesar Rp. 6000 per hari, hanya untuk transportasi. Maka dalam waktu 6 hari belajar, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 36.000.
Dengan kata lain, biaya keluarga yang harus ditanggung untuk satu orang anak sebesar Rp. 144.000 per bulan. Perhitungan ini tentu akan membengkak jika keluarga memiliki 2 atau lebih pelajar pengguna angkot. Belum lagi bekal sekolah dan biaya tak terduga lain yang harus ditanggung keluarga. Maka bisa dihitung, sebesar apa rata-rata pengeluaran keluarga hanya untuk biaya sekolah.
Bagi keluarga berpenghasilan tinggi, hal seperti ini mungkin bukanlah masalah utama. Namun, bagaimana dengan keluarga yang berada di kelas menengah ke bawah? Terlebih bagi sebagian besar pelajar kota Bandung yang juga pengguna ojek sebelum menggunakan angkot.
Karenanya, hanya melihat perhitungan sederhana di atas, kiranya sangat wajar jika keberadaan bis sekolah di Bandung ini bisa dianggap sebagai sarana penciptaan pendidikan yang murah. Bagaiman pun, pendidikan murah tak akan bisa lepas dari variabel ekonomi. Dan variabel ekonomi paling nyata adalah perbandingan antara pendapatan dan beban atau biaya yang harus ditanggung keluarga.