Kepadatan Kota Bandung, secara sekilas akan nampak dari jejeran bangunan di pinggir jalan hingga gang-gang sempit yang dipenuhi pemukiman penduduk di dalamnya. Kepadatan seperti ini, sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah tata kota di masa lalu.
Sekilas Sejarah
Sebagaimana diketahui, pembangunan kota Bandung dimulai sejak dipindahkannya Ibu Kota Bandung dari Krapnyak, Dayeuh Kolot pada masa Wiranata Kusumah II. Sementara pembangunan yang menonjol dan bisa dikatakan besar-beasaran terjadi pada terjadi pada era Bupati RA.A. Martanegara dengan kanal Cikapayang sebagai monumen paling bersejarahnya.
Seiring dengan pindahnya ibu kota Bandung, Pemerintah Hindia Belanda Pun mengeluarkan wacana sekaligus rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Rencana tersebut, jelas memicu pembangunan besar-besaran di wilayah Tata Ukur ini.
Hunian modern, pekantoran hingga wilayah komersil dibangun secara serentak di sejumlah lokasi. Ditambah dengan promosi yang kesannya bombastis ke seluruh wilayah Hindia Belanda akan hunian baru yang nyaman dan modern, secara langsung memicu gelombang migrasi besar-besaran ke wilayah baru ini.
Jauh sebelum rencana pemindahan Ibukota hindia Belanda tersebut, hingga akhir abad ke-19, Bandung sebenarnya telah memiliki pola pemukiman yang didasarkan atas pemisahan kelas sosial. Uniknya, pemisahan tersebut secara tegas bisa dilihat dengan menggunakan batas rel kereta api.
Orang Eropa yang merupakan kelas utama, menghuni sebelah selatan rel berseberangan dengan kaum pribumi yang menempati wilayah di sebelah selatan. Sementara warga kelas dua yang berasal dari Tionghoa, Arab dan India, berada di sebelah barat yang hingga kini disebut Pecinan. Pembangunan kota di masa ini dipusatkan di Alun-alun yang juga dilintasi oleh pembangunan Jalan Pos Besar (Grooten post Weg) yang terbentang dari Anyer ke Panarukan.
Dari pola pemukiman yang menjadi asal mula terjadinya kepadatan Kota Bandung, jelas jika pembangunan di masa lalu lebih mengutamakan wilayah sebelah utara rel kereta api. Karenanya, wajar jika di wilayah utara ini banyak ditemui bangunan-bangunan megah atau kompleks pemukiman elit.
Pembangunan dan keadaan seperti itu, kiranya masih terasa dan bisa dilihat hingga kini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya pekantoran terutama milik pemerintah, rumah sakit, sarana pendidikan, perumahan modern hingga wilayah komersil yang berdiri di wilayah utara rel. Sarana dan fasilitas seperti ini secara langsung membentuk wajah kota dengan kesan tertata dan elit.
Bandingkan dengan wilayah selatan rel yang lebih banyak digunakan sebagai hunian warga . Ditambah dengan pabrik dan industri sebagai lapangan pekerjaan yang identik dengan ‘rakyat kelas bawah’. Hal ini jelas menunjukkan kontras dengan wilayah di atas. Karenanya kewajaran pula jika perjuangan rakyat Bandung yang terkenal dengan peristiwa bandung Lautan Api, berkaitan dengan Bandung selatan sebagai wilayah ‘hunian pribumi’ di bagian selatan rel.
Sementara di bagian barat rel, hingga saat ini masih terlihat sebagai wilayah dengan aktivitas ekonomi perdagangan. Semisal, pasar, pertokoan, pecinan, percetakan dan sebagainya. Ekonomi perdagangan ini, bisa dikatakan masih merupakan warisan dari pemisahan kelas di masa lalu.
Atas ulasan di atas, kiranya wajar jika kepadatan kota Bandung yang terlihat saat ini, sangat bisa dikatakan memiliki hubungan yang erat dengan warisan tata kota di masa lalu. Terutama jika dilihat dari pemisahan pola pemukiman berdasarkan kelas sosial.